BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akhir-akhir ini banyak dibicarakan
di media massa masalah dunia kebidanan yang dihubungkan dengan hukum. Bidang
kebidanan yang dahulu dianggap profesi mulia, seakan-akan sulit tersentuh oleh
orang awam, kini mulai dimasuki unsur hukum. Salah satu tujuan dari hukum atau
peraturan atau deklarasi atau kode etik kesehatan atau apapun namanya, adalah
untuk melindungi kepentingan pasien disamping mengembangkan kualitas profesi
bidan atau tenaga kesehatan. Keserasian antara kepentingan pasien dan
kepentingan tenaga kesehatan, merupakan salah satu penunjang keberhasilan
pembangunan sistem kesehatan.
Pada awal abad ke-20 telah tumbuh
bidang hukum yang bersifat khusus (lex
spesialis), salah satunya hukum kesehatan, yang berakar dari
pelaksanaan hak asasi manusia memperoleh kesehatan (the Right to health
care). Masing-masing pihak, yaitu yang memberi pelayanan (medical providers) dan yang menerima
pelayanan (medical receivers)
mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihormati.
Agar dapat menanggulangi masalah
secara proporsional dan mencegah apa yang dinamakan malpraktek di bidang
kebidanan, perlu adanya informed
consent (persetujuan penjelasan) dan informed choice (pilihan pasien).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari informed consent?
2. Apa tujuan dari informed consent?
3. Bagaimanakah langkah-langkah
pencegahan masalah etik?
4. Bagaimanakah bentuk informed consent?
5. Apa pengertian dari informed choice?
6. Apa tujuan dari informed choice?
7. Bagaimanakah rekomendasi informed choice?
8. Bagaimanakah bentuk pilihan (choice) pada asuhan kebidanan?
9. Apa perbedaan pilihan (choice) dengan persetujuan (consent)?
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui dan mengerti informed consent
2. Mengetahui tujuan dari informed consent?
3. Mengetahui langkah-langkah pencegahan
masalah etik?
4. Mengetahui bentuk informed consent?
5. Mengetahui pengertian dari informed choice?
6. Mengetahui tujuan dari informed choice?
7. Mengetahui rekomendasi informed choice?
8. Mengetahui bentuk pilihan (choice) pada asuhan kebidanan?
9. Mengetahui perbedaan pilihan (choice) dengan persetujuan (consent)?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Informed Consent
Informed concent berasal dari dua kata, yaitu informed (telah mendapat penjelasan/keterangan/informasi)dan concent (memberikan
persetujuan/mengizinkan. Informed
concent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapatkan
informasi.
Informed Consent adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan kepada pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Menurut Veronika Komalawati pengertian informed
concent adalah suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang
akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah pasien mendapatkan informasi
dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya
disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Dalam Permenkes no 585 tahun 1989 ( pasal 1),
Informed concent ditafsirkan sebagai persetujuan tindakan medis adalah
persetujuan yang diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap pasien tersebut.
. 2.2 Dasar Hukum Informed Consent
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara
yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) tentang “informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun
1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang
“Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak berarti para
dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan
“informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan
operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau
keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
Baru sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi para dokter untuk melaksanakan konsep informed consent dalam praktek sehari-hari yakni berupa fatwa PB. IDI No. 319/PB/A.4/88 tentang informed consent, yang kemudian diadopsi isinya hampir sebagian besar oleh Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik.
Baru sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi para dokter untuk melaksanakan konsep informed consent dalam praktek sehari-hari yakni berupa fatwa PB. IDI No. 319/PB/A.4/88 tentang informed consent, yang kemudian diadopsi isinya hampir sebagian besar oleh Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik.
Dengan adanya peraturan Permenkes No.585 Tahun 1989
tentang persetujuan tindakan medik, maka peraturan tersebut menjadi aturan
pelaksanaan dalam setiap tindakan medis yang berhubungan dengan persetujuan dan
pemberian informasi terhadap setiap tindakan medik. Peraturan tersebut
menyebutkan bahwa setiap tindakan medik harus ada persetujuan dari pasien yang
diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Permenkes No.585 Tahun 1989, yang berbunyi “semua
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.
Adanya pengaturan mengenai informed consent yang
terdapat dalam Permenkes No.585 Tahun 1989 tersebut juga diperkuat dengan
adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang
terdapat pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi: Pasal 45 ayat
1. Setiap tindakan
kedokteran atau kedokteran gig iyang akan dilakukan oleh dokter atau dokter
gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan
secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. diagnosis dan tata
cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis
yang dilakukan;
c. alternatif tindakan
lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi
yang mungkin terjadi; dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
4. Persetujuan
sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun
lisan.
5. Setiap tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan
dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
6. Ketentuan mengenai
tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur
dengan Peraturan Menteri
Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran tersebut terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan
bahwa pengaturan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran (informend
consent) diatur oleh peraturan menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.
2.3 Bentuk Informed Consent
Informed
consent harus dilakukan setiap kali akan melakukan tindakan medis, sekecil
apapun tindakan tersebut. Menurut depertemen kesehatan (2002), informed consent
dibagi menjadi 2 bentuk :
1) Implied
consent
Yaitu
persetujuan yang dinyatakan tidak langsung. Contohnya: saat bidan akan mengukur
tekanan darah ibu, ia hanya mendekati si ibu dengan membawa sfingmomanometer
tanpa mengatakan apapun dan si ibu langsung menggulung lengan bajunya (meskipun
tidak mengatakan apapun, sikap ibu menunjukkan bahwa ia tidak keberatan
terhadap tindakan yang akan dilakukan bidan)
2) Express
Consent
Express
consent yaitu persetujuan yang dinyatakan dalam bentuk tulisan atau secara
verbal. Sekalipun persetujuan secara tersirat dapat diberikan, namun sangat
bijaksana bila persetujuan pasien dinyatakan dalam bentuk tertulis karena hal
ini dapat menjadi bukti yang lebih kuat dimasa mendatang. Contoh, persetujuan
untuk pelaksanaan sesar.
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna
jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (petugas
kesehatan) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk,
yaitu :
a. Persetujuan Tertulis,
biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar,
sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat
(1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan
medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan
tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat
tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah
terjadi informed consent);
b. Persetujuan Lisan,
biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak
mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
c. Persetujuan dengan
isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik
atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda
menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
2.4 Tujuan dan
Manfaat Informed Consent
A. Tujuan
1. Memberikan
perlindungan kepada pasien terhadap tindakan petugas kesehatan yang sebenarnya tidak
diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.
2. Memberi perlindungan
hukum kepada petugas kesehatan terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif,
karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik
ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )
B. Manfaat
1.
Membantu kelancaran tindakan medis. Melalui informed consent, secara
tidak langsung terjalin kerjasama antara bidan dank lien sehingga memperlancar
tindakan yang akan dilakukan. Keadaan ini dapat meningkatkan efisiensi waktu
dalam upaya tindakan kedaruratan.
2.
Mengurangi efek samping dan komplikasi yang mungkin terjadi. Tindakan
bidan yang tepat dan segera, akan menurunkan resiko terjadinya efek samping dan
komplikasi.
3.
Mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan penyakit, karena si ibu
memiliki pemahaman yang cukup terhadap tindakan yang dilakukan.
4.
Meningkatkan mutu pelayanan. Peningkatan mutu ditunjang oleh tindakan
yang lancar, efek samping dankomplikasi yang minim, dan proses pemulihan yang
cepat.
5.
Melindungi bidan dari kemungkinan tuntutan hukum. Jika tindakan medis
menimbulkan masalah, bidan memiliki bukti tertulis tentang persetujuan pasien.
2.5 Elemen
Informed Consent
Ada tiga element yang
membentuk Informed Consent, yaiutu :
a.
Threeshold elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai
elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent
haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai
kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat
keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki
kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai
tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonableberdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten)
apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah
pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah
pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah
apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat
keputusan menjadi terganggu.
b.
Information
elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure(pengungkapan) dan understanding (pemahaman). Pengertian
”berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis
untuk memberikan informasi (disclosure)
sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam
hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat
dari 3 standar, yaitu :
a. Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria
ke-adekuat-an informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas
tenaga medis. Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di
atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang
”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna
dari sisi sosial pasien.
b. Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang
dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus
memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah
mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami
nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
c. Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua
standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah
memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
2.6
Etik Dalam Informed Consent
Langkah-langkah pencegahan
masalah etik, dalam pencegahan konflik etik dikenal ada 4, yang urutannya
adalah sebagai berikut :
1. Informed concent
2. Negosiasi
3. Persuasi
4. Komite etik
Informed concent merupakan butir yang paling penting,
kalau informed concent gagal, maka butir selanjutnya perlu dipergunakan secara
berurutan sesuasi dengan kebutuhan. Informed concent adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien/walinya yang berhak terhadap bidan untuk melakukan suatu
tindakan kebidanan terhadap pasien sesudah memperoleh informasi lengkap dan
yang dipahaminya mengenai tindakan itu.
Ada
dua dimensi dalam proses informed concent :
a. Dimensi
yang menyangkut hukum
Dalam hal
ini informed concent merupakan perlindungan bagi pasien terhadap bidan yang
berperilaku memaksakan kehendak, dimana proses informed concent sudah memuat :
1. Keterbukaan informasi
dari bidan kepada pasien
2. Informasi tersebut
harus dimengerti pasien
3. Memberikan kesempatan
kepada pasien untuk memberikan kesempatan yang baik
b. Dimensi
yang meyangkut etik
Dari proses informed concent terkandung nilai etik sebagai berikut :
1. Menghargai
kemandirian/otonomi pasien
2. Tidak melakukan
intervensi melainkan membantu pasien bila dibutuhkan/diminta sesuai dengan
informasi yang telah dibutuhkan
3. Bidan menggali
keinginan pasien baik yang dirasakan secara subjektif maupun sebagai hasil
pemikiran yang rasional
Alur yang senantiasa berurutan, pada tahap pertama
bidan dengan pasien dihubungkan dengan suatu dialog, forum informasi
(informed), kemudian terjadi pilihan (choice) dan pengambilan keputusan.
Terdapat 2 keluaran pengambilan keputusan:
1. Menyetujui
sehingga menandatangani form persetujuan
2. Menolak
dengan menandatangani form penolakan.
Sehingga baik persetujuan maupun penolakan sebaiknya
dituangkan dalam bentuk tertulis, jika terjadi permasalahan, maka secara hukum
bidan mempunyai kekuatan hukum karena mempunyai bukti tertulis, jika terjadi
permasalahan, maka secara hukum bidan mempunyai kekuatan hukum karena mempunyai
bukti tertulis yang menunjukkan bahwa prosedur pemberian informasi telah
dilalui dan keputusan ada di tangan klien untuk menyetujui atau menolak. Hal
ini sesuai dengan hak pasien untuk menentukan diri sendiri, yaitu pasien berhak
menerima atau menolak tindakan atas dirinya setelah diberi penjelasan
sejelas-jelasnya.
Pelaksanaan informed consent cukup sulit terbukti
masih ditemukan beberapa masalah yang dihadapi oleh pihak bidan atau rumah
sakit atau rumah bersalin, yaitu:
a. Pengertian kemampuan
secara hukum dari orang yang akan menjalani tindakan, serta siapa yang berhak
menandatangani surat persetujuan dimana harus ditentukan peraturan mengenai
batas usia, kesadaran, kondisi mentalnya dan sebagainya. Sampai sejauh mana
orang yang sedang merasa kesakitan, seperti misalnya ibu inpartu mampu
menetapkan pilihan atau berkonsentrasi terhadap penjelasan yang diberikan.
Apakah orang dalam keadaan sakit mampu secara hukum menyatakan persetujuan.
b. Masalah wali yang sah.
Timbul apabila pasien atau ibu tidak mampu secara hukum untuk menyatakan
persetujuannya.
c. Masalah informasi yang
diberikan yaitu seberap jauh informasi dianggap telah dijelaskan dengan cukup
jelas, tetapi juga tidak terlalu terinci sehingga dianggap menakut-nakuti.
d. Dalam memberikan
persetujuan, apakah diperlukan sanksi, apabila diperlukan apakah sanksi
tersebut perlu menandatangani formulir yang ada. Bagaimana menentukan sanksi.
e. Dalam keadaan darurat,
misalnya kasus perdarahan pada ibu hamil, dan keluarganya belum dapat
dihubungi, dalam keadaan seperti ini siapakah yang berhak memberikan
persetujuan, sementara pasien perlu segera ditolong. Bagaimana perlindungan
hukum kepada si bidan yang melakukan tindakan atas dasar keadaan darurat dan
dalam upaya penyelamatan jiwa ibu dan janinnya.
Akhirnya bahwa manfaat informed consent adalah untuk
mengurangi keadaan malpraktek dan agar bidan lebih berhati-hati dan alur
pemberian informasi benar-benar dilakukan dalam memberikan pelayanan kebidanan.
2.7
Contoh Informed Consent Dalam Tindakan Persalinan
Bidan Praktek
Swasta................
Alamat.......................................
Telp...........................................
Kode Pos...................................
Telp...........................................
Kode Pos...................................
PERSETUJUAN TINDAKAN
PERTOLONGAN PERSALINAN
Nomor:........
Saya
yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Tempat/Tinggal
Lahir :
Alamat :
Kartu
Identitas :
Pekerjaan :
Selaku individu yang meminta bantuan pada fasilitas
kesehatan ini, bersama ini menyatakan kesediaannya untuk dilakukan tindakan dan
prosedur pertolongan persalinan pada diri saya berikan setelah mendapat
penjelasan dari bidan yang berwenang di fasilitas kesehatan tersebut diatas,
sebagaimana berikut ini:
1. Diagnosis kebidanan
………………………………………………….
2. Untuk melakukan
pertolongan persalinan, perlu dilakukan tindakan………………………………………………………………..
3. Setiap tindakan
kebidanan yang dipilih bertujuan untuk kesejahteraan dan keselamatan ibu dan
janin. Namun demikian, sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, setiap tindakan
mempunyai resiko, baik yang telah diduga maupun yang tidak diduga sebelumnya.
4. Penolong telah pula
menjelaskan bahwa ia akan berusaha sebaik mungkin untuk melakukan tindakan
pertolongan persalinan dan menghindarkan kemungkinan risiko, agar diperoleh
hasil asuhan kebidanan yang optimal.
5. Semua penjelasan
tersebut diatas, sudah saya maklumi dan dijelaskan dengan kalimat yang jelas
dan saya mengerti sehingga saya memaklumi arti tindakan atau asuhan kebidanan
yang saya alami. Dengan demikian terjadi kesalah pahaman diantara pasien dan
bidan tentang upaya serta tujuan, untuk mencegah timbulnya masalah hukum
dikemudian hari.
Apabila dalam keadaan dimana saya tidak mampu untuk
memperoleh penjelasan dan memberi persetujuan maka saya menyerahkan mandat
kepada suami atau wali saya yaitu:
Nama : ..............................................
Tempat/Tanggal
Lahir : ..............................................
Alamat
: ..............................................
Kartu Identitas
: ..............................................
Pekerjaan
: ..............................................
Demikian agar saya maklum, surat persetujuan ini saya
buat tanpa paksaan dari pihak manapun dan agar dapat dipergunakan sebagaimana
mestinya.
...............................,..........
Bidan Yang Memberi Persetujuan Pasien
Bidan Yang Memberi Persetujuan Pasien
(............................) (...............................)
2.8 Pengertian Informed Choice
Informed Choice berarti
membuat pilihan setelah mendapatkan penjelasan tentang alternatif asuhan yang
akan dialaminya, pilihan (choice)
harus dibedakan dari persetujuan (concent).
Persetujuan penting dari sudut pandang bidan, karena itu berkaitan dengan aspek
hukum yang memberikan otoritas untuk semua prosedur yang dilakukan oleh bidan.
Sedangkan pilihan (choice)
lebih penting dari sudut pandang wanita (pasien) sebagai konsumen penerima jasa
asuhan kebidanan.
2.9
Tujuan Informed Choice
Tujuannya adalah untuk
mendorong wanita memilih asuhannya. Peran bidan tidak hanya membuat asuhan
dalam manajemen asuhan kebidanan tetapi juga menjamin bahwa hak wanita untuk
memilih asuhan dan keinginannya terpenuhi. Hal ini sejalan dengan kode etik
internasional bidan yang dinyatakan oleh ICM 1993, bahwa bidan harus
menghormati hak wanita setelah mendapatkan penjelasan dan mendorong wanita
untuk menerima tanggung jawab untuk hasil dari pilihannya.
2.10 Rekomendasi
1.
Bidan harus
terusmeningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam berbagai aspek agar
dapat membuat keputusan klinis dan secara teoritis agar dapat memberikan
pelayanan yang aman dan dapat memuaskan kliennya.
2. Bidan wajib memberikan informasi
secara rinci dan jujur dalam bentuk yang dapat dimengerti oleh wanita dengan
menggunakan media laternatif dan penerjemah, kalau perlu dalam bentuk tatap
muka secara langsung.
3. Bidan dan petugas kesehatan lainnya
perlu belajar untuk membantu wanita melatih diri dalam menggunakan haknya dan
menerima tanggung jawab untuk keputusan yang mereka ambil sendiri.
4. Dengan berfokus pada asuhan yang
berpusat pada wanita dan berdasarkan fakta, diharapkan bahwa konflik dapat
ditekan serendah mungkin.
5.
Tidak
perlu takut akan konflik tapi menganggapnya sebagai suatu kesempatan untuk
saling memberi dan mungkin suatu penilaian ulang yang objektif, bermitra dengan
wanita dari sistem asuhan dan suatu tekanan positif.
2.11 Bentuk Pilihan (Choice) Pada
Asuhan Kebidanan
Ada beberapa jenis pelayanan kebidanan yang dapat dipilih oleh pasien antara
lain :
1. Gaya, bentuk pemeriksaan antenatal
dan pemeriksaan laboratorium/screaning antenatal.
2. Tempat bersalin (rumah, polindes,
RB, RSB, atau RS) dan kelas perawatan di RS.
3. Masuk kamar bersalin pada tahap awal
persalinan.
4. Pendampingan waktu bersalin.
5. Clisma dan cukur daerah pubis.
6. Metode monitor denyut jantung
janin.
7. Percepatan persalinan.
8. Diet selama proses persalinan.
9. Mobilisasi selama proses
persalinan..
10. Pemakaian obat pengurang rasa sakit.
11. Pemecahan ketuban secara rutin.
12. Posisi ketika bersalin.
13. Episiotomi.
14. Penolong persalinan.
15. Keterlibatan suami waktu bersalin,
misalnya pemotongan tali pusat.
16. Cara memberikan minuman bayi.
17. Metode pengontrolan kesuburan.
2.12 Perbedaan Pilihan (Choice) Dengan Persetujuan (Consent)
a. Persetujuan atau consent penting dari sudut
pandang bidan, karena berkaitan dengan aspek hukum yang memberikan otoritas
untuk semua prosedur yang akan dilakukan bidan.
b. Pilihan atau choice penting dari sudut
pandang klien sebagai penerima jasa asuhan kebidanan, yang memberikan gambaran
pemahaman masalah yang sesungguhnya dan merupakan aspek otonomi pribadi
menentukan pilihannya sendiri.
c. Choice berarti ada alternatif lain,
ada lebih dari satu pilihan dan klien mengerti perbedaannya sehinggga dia dapat
menentukan mana yang disukai atau sesuai dengan kebutuhannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Informed Consent adalah persetujuan tindakan kebidanan atau
kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah
mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut.
Informed Choice adalah membuat pilihan setelah
mendapatkan penjelasan tentang alternatif asuhan yang akan dialaminya, pilihan
(choice).
Persetujuan
(consent) penting dari sudut
pandang bidan, karena berkaitan dengan aspek hukum yang memberikan otoritas
untuk semua prosedur yang dilakukan oleh bidan.
Pilihan (choice) lebih penting dari sudut
pandang wanita (pasien) sebagai konsumen penerima jasa asuhan kebidanan.
3.2 Saran
Sebelum
melakukan tindakan medis, bidan dan klien harus membuat dan/atau menyetujui informed consent dan informed choice agar dapat
menanggulangi masalah secara proporsional dan mencegah apa yang dinamakan
malpraktek di bidang kebidanan
DAFTAR
PUSTAKA
·
Ratih Kusuma
Wardhani. 2009. Tinjauan Yuridis
Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) Di Rsup Dr. Kariadi Semarang. Tesis
tidak diterbitkan. Semarang: FH Universitas Diponegoro.
·
Samil, Ratna
Suprapti. Etika Kedokteran
Indonesia, Yayasan Bina Pustaka: Jakarta.,
·
Informed Consent dan Informed Refusal, Penerbit Fakultas Kedokteran
UI, 2003.
·
Zulvadi, Dudi. 2010. Etika
dan Manajemen Kebidanan. Yogyakarta : Cahaya Ilmu.
·
Wahyuningsih, Heni Puji dan Asmar Yetty Zein. 2005. Etika Profesi Kebidanan.
Yogyakarta : Fitramaya.
0 komentar:
Posting Komentar